Oleh Hendry Noer Fadlillah
![]() |
Sumber gambar |
Nenek
moyang bangsa Indonesia ,
sesungguhnya memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luar biasa. Banyak warisan yang kita peroleh saat ini
bernilai sangat tinggi, mulai dari batik, kuliner, hingga jamu. Khusus jamu, secara turun-temurun telah dibuktikan
keahlian para leluhur kita dibidang pengetahuan dan formulasi obat. Dalam perjalanannya lah, generasi penerus
tidak mampu merawatnya hingga tergerus oleh obat-obat modern yang ada saat ini.
Seiring dengan perkembangan yang ada, dimana
banyak konsumen dunia yang mulai mencari produk-produk alami, termasuk
pengobatan dan pangan, kini obat-obat alami -yang umumnya berasal dari bahan
alami, mulai mendapat perhatian. Jadi
jamu, yang merupakan obat tradisional khas Indonesia, tidak bisa dipandang
sebelah mata lagi. Bahkan World Health
Organization (WHO) pada 2002 secara khusus meluncurkan strategi untuk
pengembangan obat tradisional seperti jamu, untuk mengeksplorasi potensinya
dalam mendukung kesehatan manusia, termasuk dalam meminimalkan risiko dan
penyalahgunaan obat atau praktek pengobatan tradisional.
![]() |
Sumber gambar |
WHO (2008) mendefinisikan obat tradisional sebagai
keseluruhan dari pengetahuan, keahlian, dan praktek berdasarkan teori,
kepercayaan, dan pengalaman indigenous dari berbagai budaya yang dapat
digunakan untuk menjaga kesehatan, baik untuk mencegah, mendiagnosa,
memperbaiki, atau mengobati sakit fisik maupun mental. Obat tradisional tersebut dapat diadopsi oleh
populasi lain (di luar masyarakat budaya asalnya) sebagai obat pelengkap atau
alternatif.
Semakin populernya obat tradisional, terlihat
dengan ramuan obat-obat Cina (atau lebih dikenal dengan traditional Chinese
medicine) dan Korea yang makin mendunia. Dan sudah tercatat lebih dari 100
negara memiliki regulasi seputar obat tradisional. Hal ini tentu juga menjadi peluang bagi jamu
untuk berkontribusi dalam mendukung kesehatan masyarakat dunia.
![]() |
Sumber gambar |
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis
Pelayanan Kesehatan, Pemerintah berupaya mendorong penguatan strategi
pembuktian empiris jamu. Namun demikian,
selain payung hukum, Pemerintah juga perlu mendorong industri untuk lebih
melirik dan mengembangkan jamu. Sebab dengan
industrialisasi jamu, sangat dimungkinkan diperoleh produk yang lebih
terstandar, praktis, dan modern. Jika
hal tersebut tercapai, maka dengan sendirinya akan menggerakkan ekonomi
masyarakat, termasuk dengan lebih berdayanya pengusaha-pengusaha kecil melalui
program kemitraan.
Namun demikian, WHO (2008) mencatat beberapa
tantangan dalam pengembangan obat tradisional, termasuk dalam memperkenalkan
jamu ke dunia internasional. Berikut
beberapa diantaranya:
Beragamnya diversitas
internasional
Obat tradisional berkembang berdasarkan budaya dan
kekayaan alam masing-masing daerah.
Bahkan dalam satu negara, bisa terdapat ragam jenis yang sangat
banyak. Oleh sebab itu, menjadi
tantangan tersendiri dalam penetapan standar internasional dan juga studi
empiris terhadap populasi tertentu.
Kebijakan dan regulasi nasional
Tidak semua negara memiliki kebijakan dan regulasi
yang jelas untuk obat-obat tradisional.
Selain itu, aturan dan definisinya pun cukup beragam. Sebagai contoh, ada produk herbal yang bisa
didefiniskan sebagai obat, suplemen, dan pangan. Akibatnya, perdagangan internasional obat
tradisional agak terhambat. Oleh sebab
itu diperlukan harmonisasi.
Keamanan, efektivitas, dan mutu
Salah satu kelemahan utama dari obat tradisional,
termasuk jamu, adalah rendahnya bukti ilmiah, baik untuk khasiat maupun
keamanannya. Diperlukan penelitian yang
kompleks untuk mengevalusi obat tradisional.
Hal terpenting lainnya adalah penyusunan standar untuk memberikan
jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen.
Penyusunan standar juga sangat penting untuk membedakan produk yang asli
dengan yang dipalsukan (adulterated).
Pengetahuan dan ketersediaan
bahan baku
Sebagian besar bahan baku jamu dan obat lain
adalah herbal dan rimpang. Saat ini,
masih terdapat keterbatasan pengetahuan tentang budi daya, khasiat, dan
komponen-komponen penyusunnya. Oleh
sebab itu, perlu digalakkan kembali pemuliaan tanaman obat keluarga (TOGA) dan
juga mengeksplorasi pengetahuan bahan terkait dengan herbal dan rimpang yang
diduga mengandung manfaat. Pemahaman terhadap
pengetahuan bahan juga terkait dengan interaksi dan kemungkinan adanya komponen
toksik di dalamnya. Sebab alami belum
tentu aman. Tetap diperlukan studi dan
bukti ilmiah.
Oleh sebab itu, memperhatikan tantangan-tantangan
tersebut, Indonesia perlu meningkatkan kompetensi dalam pengembangan jamu. Kompetensi yang dimaksud meliputi keahlian
budi daya, penguasaan terhadap bahan baku, keahlian teknologi, bukti ilmiah,
dan lainnya. Jika konsisten, bukan tidak
mungkin jamu bisa bersaing dengan obat modern yang ada saat ini dan membantu
dunia dalam meraih hidup sehat yang lebih baik.
Sebab beberapa penelitian menunjukkan potensi dalam mengatasi beberapa
penyakit utama yang melanda dunia.
Sebagai contoh penelitian yang dilakukan Batubara, I., dkk (2010) tentang kandungan
antioksidan dari bebarapa tanaman obat Indonesia. Antioksidan sangat penting dalam menetralkan
radikal bebas, yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, penuaan
dini, dan lainnya.
Referensi
[WHO] World Health
Organization. Traditional Medicine.
Diunduh pada 01 Agustus 2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/index.html
Batubara, I. ,
L.K. Darusmam., T. Mitsunaga., M. Rahminiwati., E. Djauhari. 2010. Potency of
Indonesian Medicinal Plants as Tyrosinase Inhibitor and Antioxidant Agent. Journal of Biological Sciences 10(2):
138-144. Diunduh pada 01 Agustus 2013 http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal/146-potency-of-indonesian-medicinal-plants-as-tyrosinase-inhibitor-and-antioxidant-agent
Referensi Gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar